Selasa, 03 April 2012

Makna Pemimpin


KEPEMIMPINAN YANG HAKIKI

Makna Peminpin        
Dalam Islam pemimpin disebut dengan Khalifah. Khalifah (Ar.: Khaliifah adalah wakil, pengganti atau duta). Sedangkan secara itilah Khaliifah adalah orang yang bertugas menegakkan syariat Allah SWT , memimpin kaum muslimin untuk menyempurnakan penyebaran syariat Islam dan memberlakukan kepada seluruh kaum muslimin secara wajib, sebagai pengganti kepemimpinan Rasulullah SAW .
Dari pengertian diatas jelas bahwa pemimpin menurut pandangan Islam tidak hanya menjalankan roda pemerintahan begitu saja namun seorang pemimpin harus mewajibkan kepada rakyatnya untuk melaksanakan apa saja yang terdapat dalam syariat Islam walaupun bukan beragama Islam. Serta mempengaruhi rakyatnya untuk selalu mengikuti apa yang menjadi arahan dari seorang pemempin.
Sedangkan kepemempinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi perilaku seseorang, sehingga apa yang menjadi ajakan dan seruan pemimpin dapat dilaksanakan orang lain guna mencapai tujuan yang menjadi kesepakan antara pemimpin dengan rakyatnya.
Dalil Kepemimpinan
Semua ulama dan fuqaha dari generasi ke generasi sepakat bahwa untuk menjalankan sebuah roda pemerintahan atau khilafah merupakan kewajiban agama yang sangat agung. Mereka menggunakan argumentasi fundamental dan esensial yang dinukilkan langsung dari nash sharih al-Qur’an, al-Hadits dan kaidah-kaidah ushul fiqh.
Dalil al-Qur’an yang membahas tentang imamah (kepemimpinan) dapat ditelusuri dan dikaji sebagaimana yang difirmankan Allah SWT, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila mendapatkan hukum dan antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil,” (QS.An-Nisa:58).
Firman Allah SWT tersebut adalah perintah umum yang mencakup semua bentuk amanah. Agama adalah amanah dan syari’ah adalah amanah. Adapun hukum dan syari’ah adalah amanah. Dan seorang pemimpin yang melaksanakan syari’ah adalah amanah. Disinilah letak wajibnya memilih seorang khalifah atau pemimpin. Ibnu Jarir menegaskan bahwa asbabun nuzul (sebab-sebab turun ayat) QS. An-Nisaa:58 tersebut  adalah berkenaan dengan perintah wullatul amr (pemimpin yang sah) (sebab-sebab turun ayat) QS. An-Nisaa:58 tersebut  adalah berkenaan dengan perintah wullatul amr (pemimpin yang sah) Syaikhul Islam, Ibn Taymiyah berkata bahwa ayat tersebut merupakan kalam Allah yang sangat berharga dalam memberikan interpretasi tentang perlunya ketaatan dan kepatuhan terhadap pemerintahan sesuai dengan karakteristik negara Islam, sebagaimana yang difirmankan  oleh Allah SWT dalam ayat selanjutnya dari QS.al-Nisa’, ”Hai orang-orang  yang beriman, taatilah Allah SWT dan taatilah rasul-Nya dan ulil amr diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah SWT (al-Qur’an) dan rasul (al-Hadits) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik takwilnya ” (QS. Al-Nisa’:59).
Pembahasan tentang kepemimpinan yang bersumberkan pada dalil Hadits Nabi Muhammad SAW, cukuplah banyak diantaranya yang cukup populer adalah ”Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggungjawab atas kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan ia bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Seorang suami adalah pemimpin pada anggota keluarganya dan ia bertanggungjawab atas kepemimpinannya”. (HR. Buhori).
Tak kalah jelasnya adalah Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim yang artinya, ”Barangsiapa melepaskan tangan dari mentaati (imamnya), ia akan menemui Allah pada hari kiamat tanpa punya pembela bagi dirinya. Barangsiapa mati sedangkan dirinya tidak ada bai’at (kepada imam) maka ia mati dalam keadaan Jahiliyah” (HR. Muslim).
Hadits yang kedua ini yang dijadikan rujukan dan pedoman bagi sebagian umat  Islam yang mengikatkan diri dalam sebuah bai’at kepemimpinan. Sekalipun hal tersebut terkesan sangat dipaksakan dan mengada-ada yang berakibat pada penafian rasionalitas dan akal pikiran yang sehat.  Pemahaman yang kurang tepat terhadap Hadits tersebut berakibat pada pengkultusan kepemimpinan yang berlebihan. Bahkan melebihi kepada Tuhan dan Nabi-nya. Padahal Nabi sendiri telah mengingatkan umatnya untuk tidak mengkultuskan pemimpin. Karena dihadapan Allah SWT semua sama yang membedakan hanyalah kadar keimaman dan ketaqwaannya.
Prinsip Dasar Pemimpin
Impian dan harapan besar umat terhadap pemimpin, mengantarkan betapa penting dan berartinya peran seorang pemimpin dalam mendesain sebuah masyarakat, bangsa dan negara. Sejarah membuktikan, kejayaan dan keemasan sebuah bangsa  sangat ditentukan oleh kualitas dan kapasitas para pemimpinnya.
Islam memberikan dasar-dasar normatif dan filosofis tentang kepemimpinan yang bersifat komprehensip dan universal. Tidak hanya untuk umat Islam tapi juga untuk seluruh umat manusia. Prinsip-prinsip kepemimpinan dalam Islam adalah sebagai berikut; pertama, hikmah, ajaklah manusia ke jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik lagi bijaksana (QS. al-Nahl:125). Kedua, diskusi, jika ada perbedaan dan ketidaksamaan pandangan, maka seorang pemimpin menyelesaikan dengan diskusi dan bertukar pikiran (QS. al-Nahl:125).
Ketiga, qudwah, kepemimpinan menjadi efektif apabila dilakukan tidak hanya dengan nasihat tapi juga dengan ketauladanan yang baik dan bijaksana (QS. al-Ahdzab:21). Pepatah mengatakan, satu ketauladanan yang baik lebih utama dari seribu satu nasehat. Memang kesan dari sebuah keteladanan lebih melekat dan membekas dibanding hanya sekedar nasehat seorang pemimpin.
Keempat, musyawwarah, adalah suatu bentuk pelibatan seluruh komponen masyarakat secara proporsional dalam keikutsertaan dalam pengambilan sebuah keputusan atau kebijaksanaan  (QS. Ali Imran:159, QS. As-Syura:38). Dengan musyawwarah, maka tidak ada suatu permasalahan yang tak dapat diselesaikan. Tentu dengan prinsip-prinsip bilhikmah wamauidhatil khasanah yang harus dipegang teguh oleh setiap komponen pemerintah atau imamah.
Kelimaadl, tidak memihak pada salah satu pihak. Pemimpin yang berdiri pada semua kelompok dan golongan, (QS.al-Nisa’:58&135, QS. al-Maidah:8) Dalam memimpin pegangannya hanya pada kebenaran, shirathal mustaqim (jalan yang lurus). Timbangan dan ukurannya bersumber  pada al-Qur’an dan al-Hadits.  Kecintaannya hanya karena Allah dan kebencian pun hanya karena Allah. Hukum menjadi kuat tidak hanya saat berhadapan dengan orang lemah, tapi juga menjadi kuat saat berhadap-hadapan dengan orang kuat.
Keenam, kelembutan hati dan saling mendoakan. Kesuksesan dan keberhasilan Rasulallah dan para sahabat dalam memimpin umat, lebih banyak didukung oleh faktor performa pribadi Rasul dan para sahabat yang lembut hatinya, halus perangainya dan santun perkataannya. Maka Allah SWT menempatkan Muhammad Rasulallah sebagai rujukan dalam pembinaan mental dan moral sebagaimana firmannya, ”Laqad kana lakum fi Rasulillahi uswatun hasanah” (Sungguh ada pada diri Rasul suri tauladan yang baik), (QS. al-Ahdzab:21 dan al-Qalam:10).
Ketujuh, dari prinsip dasar kepemimpinan Islami adalah kebebasan berfikir, kreativitas dan berijtihad. Sungguh amat luar biasa, sepeninggal Rasulallah para sahabat dapat menunjukkan diri sebagai sosok pemimpin yang mandiri, kuat, kreatif dan fleksibel.
Kelembutan pribadi Abu Bakar (khalifah ke-1) tak menjadikan dirinya menjadi sosok pemimpin yang lemah, malah sebaliknya ia menjadi pemimpin yang kuat dan tangguh. Tak gentar menghadapi musuh-musuh Islam. Ketegasan beliau dibuktikan dengan kesungguhan memerangi para pemberontak, nabi palsu dan kaum yang tak mau membayar zakat.
Kebalikannya ketegaran Khalifah Umar bin Khattab (khalifah ke-2) akhirnya menjadi sosok yang lembut, sederhana dan bersahaja. Sekalipun ia seorang khalifah dan menyandang gelar amirul mu’minin, tak menjadikan kehidupan diri dan keluarganya berubah drastis, bergelimang  harta dan tahta atau menampilkan diri sebagai sosok pembesar yang suka ”petentang-petenteng” dan pamer kekuasaan.
Yang terjadi justru sebaliknya, Umar bin Khattab lebih menampakkan diri sebagai sosok  yang low profil high produc. Tak salah kiranya bila banyak rakyatnya dan pejabat negara lain yang terkecoh dengan penampilan fisiknya dan tak mengira bahwa yang berdiri dihadapannya adalah seorang khalifah yang disegani dan dicintai rakyatnya. 
Dua sosok pemimpin penerus Rasulallah yang berbeda karakter tersebut, disaat sama-sama diberi amanah untuk memimpin umat dan mengelola roda pemerintahan yang tampak adalah sosok pemimpin yang banyak dipengaruhi dan diwarnai oleh nilai-nilai al-Qur’an dan al-Hadits. Tidak  sebagai pemimpin yang dipengaruhi dan dikuasai oleh karakter  pribadi dan hawa nafsu.
Kedelapan, sinergis membangun kebersamaan. Mengoptimalkan sumber daya insani yang ada. Hebatnya Rasulullah salah satunya adalah kemampuan beliau dalam mensinergikan dan membangun kekuatan dan potensi yang dimiliki umatnya. Para sahabat dioptimalkan keberadaannya. Keberbedaan potensi yang dimiliki sahabat dan umat dikembangkan sedemikian rupa, sehingga menjadi pribadi-pribadi yang tangguh baik mental maupun spritualnya.
Berbagai misi kenegaraan dipercayakan Rasulallah kepada para sahabatnya seperti misi ke Habasyah, Yaman, Persia dan Rumawi.  Muncullah sosok-sosok sahabat seperti Abu Dzar Al-Ghifari, Mu’adz bin Jabal, Salman al-Farisi dan Amr bin Ash. Dalam usia yang relatif muda, mereka sudah memimpin berbagai ekspedisi kenegaraan dan berbagai pertempuran penting.

Syarat Pemimpin 
Prinsip dasar pemimpin tersebut sebagaimana yang digariskan dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi,  dalam perkembangannya mengalami perluasan arti dan pemahaman. Bahkan tak jarang mengalami pembiasan yang jauh dari prinsip dasar yang sesungguhnya. Hal ini tak lepas dari ”hiruk pikuk” kepentingan politik dan kepentingan kelompok atau  golongan.
Namun demikian bila ditarik batas merah pemikiran mereka, sesungguhnya ada kesamaan diantara para ulama dan fuqaha. Kesamaan itu lebih bersifat mayor dari pada  minor, yaitu;
Pertama, persyaratan yang bersifat fisik. Artinya, pemimpin harus memiliki fisik yang prima, sehat, dan kuat. Sebagai ikhtiar untuk mendukung tugas dan tanggungjawabnya. Sehingga mobilitasnya berjalan dengan normal, lancar dan tidak terganggu oleh  fisik.
Kedua, persyaratan yang bersifat mental dan spritual. Seorang pemimpin dituntut untuk memiliki kualitas mental pribadi yang teruji seperti jujur, adil dan terpercaya. Ia sosok orang yang beriman dan bertaqwa.  Kualitas pengamalan agamanya tidak diragukan, dekat dengan Tuhannya dan dekat pula dengan sesamanya.  Hablum minallah dan hablum minannas sama-sama terjaga dengan baik..
Ketiga, persyaratan yang bersifat keahlian dan kemampuan. Maksudnya seorang pemimpin itu harus berilmu, berwawasan luas, cerdas, kompeten,  profesional dan bertanggungjawab.

Kesimpulan
Kepemimpinan dalam Islam menempati posisi yang sangat strategis. Karena kepemimpinan adalah sebuah instrumen untuk mencapai cita-cita luhur sebuah bangsa dan negara. Yaitu terwujudnya suatu bangsa yang ”baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” (bangsa yang baik, sejahtera dan dibawah lindungan Allah SWT). Oleh sebab itu, Islam menaruh perhatian yang cukup besar terhadap masalah kepemimpinan.
Besar dan beratnya tugas yang diemban seorang pemimpin, maka dipersyaratkan padanya sebuah persyaratan yang kompleks dan komprehensip, meliputi tiga persyaratan utama yaitu; (1) persyaratan fisik, (2) persyaratan mental-spritual, dan (3) persyaratan keahlian dan kemampuan.
Karakter kepemimpinan yang telah menunjukkan kesuksesan dan keberhasilan dan ini yang perlu dijadikan tauladan adalah karakter kepemimpinan para Nabi dan Rasul yaitu ; siddiq, amanah, fathanah dan tabligh. Empat karakter kepemimpinan ini yang perlu dikembangkan seiring dengan perkembangan zaman dan waktu. Dan kemudian kita hendaknya lebih bijak dan selektif untuk mengharapkan terwujudnya kepemimpinan yang baik.
Semoga ini dapat menjadi pencerahan bagi kita para cendikawan Muda Islam, yang beberapa hari lagi akan melakukan Pesta demokrasi di kampus kita, Mari kita ciptakan Nuansa yang baik dan penuh dengan kejujuran dan dedikasi yang sempurna.

                                                                                                                        Nazmi Hidayat Sitorus
Mahasiswa PBA semester VI




Tidak ada komentar: