KEPEMIMPINAN YANG HAKIKI
Makna
Peminpin
Dalam Islam
pemimpin disebut dengan Khalifah. Khalifah (Ar.: Khaliifah adalah wakil,
pengganti atau duta). Sedangkan secara itilah Khaliifah adalah orang yang
bertugas menegakkan syariat Allah SWT , memimpin kaum muslimin untuk
menyempurnakan penyebaran syariat Islam dan memberlakukan kepada seluruh kaum
muslimin secara wajib, sebagai pengganti kepemimpinan Rasulullah SAW .
Dari
pengertian diatas jelas bahwa pemimpin menurut pandangan Islam tidak hanya
menjalankan roda pemerintahan begitu saja namun seorang pemimpin harus
mewajibkan kepada rakyatnya untuk melaksanakan apa saja yang terdapat dalam
syariat Islam walaupun bukan beragama Islam. Serta mempengaruhi rakyatnya untuk
selalu mengikuti apa yang menjadi arahan dari seorang pemempin.
Sedangkan
kepemempinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar
mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi perilaku seseorang,
sehingga apa yang menjadi ajakan dan seruan pemimpin dapat dilaksanakan orang
lain guna mencapai tujuan yang menjadi kesepakan antara pemimpin dengan
rakyatnya.
Dalil
Kepemimpinan
Semua ulama
dan fuqaha dari generasi ke generasi sepakat bahwa untuk menjalankan sebuah
roda pemerintahan atau khilafah merupakan kewajiban agama yang sangat agung.
Mereka menggunakan argumentasi fundamental dan esensial yang dinukilkan
langsung dari nash sharih al-Qur’an, al-Hadits dan kaidah-kaidah ushul fiqh.
Dalil
al-Qur’an yang membahas tentang imamah
(kepemimpinan) dapat ditelusuri dan dikaji sebagaimana yang difirmankan Allah
SWT, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila mendapatkan hukum dan antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil,” (QS.An-Nisa:58).
Firman Allah
SWT tersebut adalah perintah umum yang mencakup semua bentuk amanah. Agama
adalah amanah dan syari’ah adalah amanah. Adapun hukum dan syari’ah adalah
amanah. Dan seorang pemimpin yang melaksanakan syari’ah adalah amanah.
Disinilah letak wajibnya memilih seorang khalifah atau pemimpin. Ibnu Jarir
menegaskan bahwa asbabun nuzul
(sebab-sebab turun ayat) QS. An-Nisaa:58 tersebut adalah berkenaan dengan perintah wullatul amr (pemimpin yang sah)
(sebab-sebab turun ayat) QS. An-Nisaa:58 tersebut adalah berkenaan dengan perintah wullatul amr (pemimpin yang sah) Syaikhul Islam, Ibn Taymiyah berkata bahwa ayat tersebut
merupakan kalam Allah yang sangat berharga dalam memberikan interpretasi
tentang perlunya ketaatan dan kepatuhan terhadap pemerintahan sesuai dengan
karakteristik negara Islam, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam ayat selanjutnya dari
QS.al-Nisa’, ”Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah SWT dan taatilah rasul-Nya dan ulil amr diantara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia
kepada Allah SWT (al-Qur’an) dan rasul (al-Hadits) jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik takwilnya ” (QS. Al-Nisa’:59).
Pembahasan tentang kepemimpinan yang bersumberkan pada dalil Hadits Nabi
Muhammad SAW, cukuplah banyak diantaranya yang cukup populer adalah ”Setiap
kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggungjawab atas kepemimpinannya,
seorang imam adalah pemimpin dan ia bertanggungjawab atas kepemimpinannya.
Seorang suami adalah pemimpin pada anggota keluarganya dan ia bertanggungjawab
atas kepemimpinannya”. (HR. Buhori).
Tak kalah jelasnya adalah Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim yang
artinya, ”Barangsiapa melepaskan tangan dari mentaati (imamnya), ia akan
menemui Allah pada hari kiamat tanpa punya pembela bagi dirinya. Barangsiapa
mati sedangkan dirinya tidak ada bai’at (kepada imam) maka ia mati dalam
keadaan Jahiliyah” (HR. Muslim).
Hadits yang kedua ini yang dijadikan rujukan dan pedoman bagi sebagian
umat Islam yang mengikatkan diri dalam
sebuah bai’at kepemimpinan. Sekalipun hal tersebut terkesan sangat dipaksakan
dan mengada-ada yang berakibat pada penafian rasionalitas dan akal pikiran yang
sehat. Pemahaman yang kurang tepat
terhadap Hadits tersebut berakibat pada pengkultusan kepemimpinan yang
berlebihan. Bahkan melebihi kepada Tuhan dan Nabi-nya. Padahal Nabi sendiri
telah mengingatkan umatnya untuk tidak mengkultuskan pemimpin. Karena dihadapan
Allah SWT semua sama yang membedakan hanyalah kadar keimaman dan ketaqwaannya.
Prinsip Dasar Pemimpin
Impian dan harapan besar umat terhadap pemimpin, mengantarkan betapa
penting dan berartinya peran seorang pemimpin dalam mendesain sebuah
masyarakat, bangsa dan negara. Sejarah membuktikan, kejayaan dan keemasan
sebuah bangsa sangat ditentukan oleh
kualitas dan kapasitas para pemimpinnya.
Islam memberikan dasar-dasar normatif dan filosofis tentang kepemimpinan
yang bersifat komprehensip dan universal. Tidak hanya untuk umat Islam tapi
juga untuk seluruh umat manusia. Prinsip-prinsip kepemimpinan dalam Islam
adalah sebagai berikut; pertama,
hikmah, ajaklah manusia ke jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik
lagi bijaksana (QS. al-Nahl:125). Kedua,
diskusi, jika ada perbedaan dan ketidaksamaan pandangan, maka seorang pemimpin
menyelesaikan dengan diskusi dan bertukar pikiran (QS. al-Nahl:125).
Ketiga, qudwah, kepemimpinan menjadi
efektif apabila dilakukan tidak hanya dengan nasihat tapi juga dengan
ketauladanan yang baik dan bijaksana (QS. al-Ahdzab:21). Pepatah mengatakan,
satu ketauladanan yang baik lebih utama dari seribu satu nasehat. Memang kesan
dari sebuah keteladanan lebih melekat dan membekas dibanding hanya sekedar
nasehat seorang pemimpin.
Keempat, musyawwarah, adalah suatu bentuk pelibatan seluruh komponen masyarakat
secara proporsional dalam keikutsertaan dalam pengambilan sebuah keputusan atau
kebijaksanaan (QS. Ali Imran:159, QS.
As-Syura:38). Dengan musyawwarah, maka tidak ada suatu permasalahan yang tak
dapat diselesaikan. Tentu dengan prinsip-prinsip bilhikmah wamauidhatil khasanah yang harus dipegang teguh oleh
setiap komponen pemerintah atau imamah.
Kelima, adl, tidak memihak pada salah satu pihak. Pemimpin yang berdiri
pada semua kelompok dan golongan, (QS.al-Nisa’:58&135, QS. al-Maidah:8)
Dalam memimpin pegangannya hanya pada kebenaran, shirathal mustaqim (jalan yang lurus). Timbangan dan ukurannya
bersumber pada al-Qur’an dan
al-Hadits. Kecintaannya hanya karena
Allah dan kebencian pun hanya karena Allah. Hukum menjadi kuat tidak hanya saat
berhadapan dengan orang lemah, tapi juga menjadi kuat saat berhadap-hadapan
dengan orang kuat.
Keenam, kelembutan hati dan saling mendoakan. Kesuksesan dan keberhasilan
Rasulallah dan para sahabat dalam memimpin umat, lebih banyak didukung oleh
faktor performa pribadi Rasul dan para sahabat yang lembut hatinya, halus
perangainya dan santun perkataannya. Maka Allah SWT menempatkan Muhammad
Rasulallah sebagai rujukan dalam pembinaan mental dan moral sebagaimana
firmannya, ”Laqad kana lakum fi Rasulillahi uswatun hasanah” (Sungguh ada pada
diri Rasul suri tauladan yang baik), (QS. al-Ahdzab:21 dan al-Qalam:10).
Ketujuh, dari prinsip dasar kepemimpinan Islami adalah kebebasan berfikir,
kreativitas dan berijtihad. Sungguh amat luar biasa, sepeninggal Rasulallah
para sahabat dapat menunjukkan diri sebagai sosok pemimpin yang mandiri, kuat,
kreatif dan fleksibel.
Kelembutan pribadi Abu Bakar (khalifah ke-1) tak menjadikan dirinya menjadi
sosok pemimpin yang lemah, malah sebaliknya ia menjadi pemimpin yang kuat dan
tangguh. Tak gentar menghadapi musuh-musuh Islam. Ketegasan beliau dibuktikan
dengan kesungguhan memerangi para pemberontak, nabi palsu dan kaum yang tak mau
membayar zakat.
Kebalikannya ketegaran Khalifah Umar bin Khattab (khalifah ke-2) akhirnya
menjadi sosok yang lembut, sederhana dan bersahaja. Sekalipun ia seorang
khalifah dan menyandang gelar amirul
mu’minin, tak menjadikan kehidupan diri dan keluarganya berubah drastis,
bergelimang harta dan tahta atau
menampilkan diri sebagai sosok pembesar yang suka ”petentang-petenteng” dan pamer kekuasaan.
Yang terjadi justru sebaliknya, Umar bin Khattab lebih menampakkan diri
sebagai sosok yang low profil high produc. Tak salah kiranya bila banyak rakyatnya dan
pejabat negara lain yang terkecoh dengan penampilan fisiknya dan tak mengira
bahwa yang berdiri dihadapannya adalah seorang khalifah yang disegani dan
dicintai rakyatnya.
Dua sosok pemimpin penerus Rasulallah yang berbeda karakter tersebut,
disaat sama-sama diberi amanah untuk memimpin umat dan mengelola roda
pemerintahan yang tampak adalah sosok pemimpin yang banyak dipengaruhi dan
diwarnai oleh nilai-nilai al-Qur’an dan al-Hadits. Tidak sebagai pemimpin yang dipengaruhi dan
dikuasai oleh karakter pribadi dan hawa
nafsu.
Kedelapan, sinergis membangun kebersamaan. Mengoptimalkan sumber daya insani yang
ada. Hebatnya Rasulullah salah satunya adalah kemampuan beliau dalam
mensinergikan dan membangun kekuatan dan potensi yang dimiliki umatnya. Para
sahabat dioptimalkan keberadaannya. Keberbedaan potensi yang dimiliki sahabat
dan umat dikembangkan sedemikian rupa, sehingga menjadi pribadi-pribadi yang
tangguh baik mental maupun spritualnya.
Berbagai misi kenegaraan dipercayakan Rasulallah kepada para sahabatnya
seperti misi ke Habasyah, Yaman, Persia dan Rumawi. Muncullah sosok-sosok sahabat seperti Abu
Dzar Al-Ghifari, Mu’adz bin Jabal, Salman al-Farisi dan Amr bin Ash. Dalam usia
yang relatif muda, mereka sudah memimpin berbagai ekspedisi kenegaraan dan
berbagai pertempuran penting.
Syarat Pemimpin
Prinsip dasar pemimpin tersebut sebagaimana yang digariskan dalam al-Qur’an
dan Sunnah Nabi, dalam perkembangannya
mengalami perluasan arti dan pemahaman. Bahkan tak jarang mengalami pembiasan
yang jauh dari prinsip dasar yang sesungguhnya. Hal ini tak lepas dari ”hiruk
pikuk” kepentingan politik dan kepentingan kelompok atau golongan.
Namun demikian bila ditarik batas merah pemikiran mereka, sesungguhnya ada
kesamaan diantara para ulama dan fuqaha. Kesamaan itu lebih bersifat mayor dari
pada minor, yaitu;
Pertama, persyaratan yang bersifat fisik. Artinya,
pemimpin harus memiliki fisik yang prima, sehat, dan kuat. Sebagai ikhtiar
untuk mendukung tugas dan tanggungjawabnya. Sehingga mobilitasnya berjalan
dengan normal, lancar dan tidak terganggu oleh
fisik.
Kedua, persyaratan yang bersifat mental dan spritual. Seorang pemimpin dituntut
untuk memiliki kualitas mental pribadi yang teruji seperti jujur, adil dan
terpercaya. Ia sosok orang yang beriman dan bertaqwa. Kualitas pengamalan agamanya tidak diragukan,
dekat dengan Tuhannya dan dekat pula dengan sesamanya. Hablum
minallah dan hablum minannas sama-sama
terjaga dengan baik..
Ketiga, persyaratan yang bersifat keahlian dan kemampuan. Maksudnya seorang
pemimpin itu harus berilmu, berwawasan luas, cerdas, kompeten, profesional dan bertanggungjawab.
Kesimpulan
Kepemimpinan dalam Islam menempati posisi yang sangat
strategis. Karena kepemimpinan adalah sebuah instrumen untuk mencapai cita-cita
luhur sebuah bangsa dan negara. Yaitu terwujudnya suatu bangsa yang ”baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”
(bangsa yang baik, sejahtera dan dibawah lindungan Allah SWT). Oleh sebab itu,
Islam menaruh perhatian yang cukup besar terhadap masalah kepemimpinan.
Besar dan beratnya tugas yang diemban seorang pemimpin,
maka dipersyaratkan padanya sebuah persyaratan yang kompleks dan komprehensip,
meliputi tiga persyaratan utama yaitu; (1) persyaratan fisik, (2) persyaratan
mental-spritual, dan (3) persyaratan keahlian dan kemampuan.
Karakter kepemimpinan yang telah menunjukkan kesuksesan
dan keberhasilan dan ini yang perlu dijadikan tauladan adalah karakter
kepemimpinan para Nabi dan Rasul yaitu ; siddiq,
amanah, fathanah dan tabligh. Empat karakter kepemimpinan ini yang perlu
dikembangkan seiring dengan perkembangan zaman dan waktu. Dan kemudian kita
hendaknya lebih bijak dan selektif untuk mengharapkan terwujudnya kepemimpinan
yang baik.
Semoga ini dapat menjadi pencerahan bagi kita para
cendikawan Muda Islam, yang beberapa hari lagi akan melakukan Pesta demokrasi
di kampus kita, Mari kita ciptakan Nuansa yang baik dan penuh dengan kejujuran
dan dedikasi yang sempurna.
Nazmi Hidayat Sitorus
Mahasiswa PBA semester
VI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar